Pembantaian Diam-diam : Perang israel Terhadap Komunitas Badui Palestina di Tepi Barat
Abu Najeh al-Omari adalah seorang pria Palestina berusia 80 tahun.
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya menangis dan mengeluh karena dia dan keluarganya terpaksa meninggalkan komunitas Badui di timur Ramallah.
“Kami memimpikannya siang dan malam,” katanya kepada The Palestine Chronicle.
Beberapa bulan lalu, sekelompok pemukim ilegal yahudi, yang dilindungi oleh tentara dan polisi israel, memaksa dia dan keluarganya meninggalkan rumah dan tanah mereka.
Al-Omari telah tinggal di kawasan Ain Samia sejak tahun 1960-an. Ini adalah tanah yang luas dan indah yang dikelilingi pegunungan, kaya akan mata air, dan memiliki ciri tanah yang sangat subur.
Al-Omari, ayah dari delapan anak, bekerja sebagai petani dan peternak.
Keluarganya adalah salah satu dari puluhan keluarga yang membentuk komunitas Badui, yang mendapat tempat terkemuka dalam masyarakat Palestina.
Menurut al-Omari, selama puluhan tahun, serangan israel terhadap mereka tidak pernah berhenti.
Dia mengatakan kepada kami bahwa sejak tahun 1967, keluarga Badui di wilayah tersebut telah menjadi sasaran pelecehan dan penyerangan, baik oleh pemukim israel atau tentara.
“Dari waktu ke waktu, mereka mencuri ternak kami dan mencegah kami menggembalakannya di beberapa wilayah, terkadang dengan dalih bahwa itu adalah zona militer, dan terkadang area penggembalaan tersebut berada di bawah kendali negara israel, dengan dalih dekat dengan pemukiman,” keluhnya.
“Tapi kami datang ke sini jauh sebelum pemukiman dibangun,” tambahnya.
Namun pembatasan ini memperdalam hubungan antara penduduk Palestina dan tanah air mereka. Jumlah penduduknya bertambah, dan mereka mulai mengolah lahan dengan berbagai tanaman untuk mendiversifikasi sumber penghidupan mereka.
Lima tahun yang lalu, israel mulai memperketat cengkeramannya terhadap mereka, mencegah mereka membangun kandang untuk domba mereka atau menambah ruangan di rumah mereka, untuk menampung populasi yang terus bertambah.
“Setiap kali saya membangun sebuah ruangan kecil, tentara israel menghancurkannya,” katanya.
“Kami membangun sebuah sekolah sederhana, namun para pemukim memecahkan jendela-jendelanya dan memotong pipa airnya. Setiap orang Palestina di wilayah ini berisiko rumahnya dibongkar dengan dalih apa pun yang mereka pilih,” tambahnya.
Seiring berjalannya waktu, sekelompok pemukim, yang menamakan diri mereka ‘Pemuda Perbukitan’, mulai mempraktikkan pemukiman pastoral di kawasan Ain Samiya. Para pemukim membawa ternak mereka, mencegah orang-orang Palestina merumput, dan secara bertahap merampas tanah mereka.
Tahun lalu, frekuensi serangan israel terhadap komunitas Badui meningkat dua kali lipat. Pemukim dan tentara israel bekerja sama untuk mengusir keluarga melalui serangan tanpa henti.
Pemukulan terhadap penduduk, pelemparan batu ke rumah-rumah, kutukan terus-menerus, pemutusan pasokan air dan listrik, pencurian ternak, pembakaran dan perusakan tanaman pertanian: semuanya terjadi sebagai bagian dari gelombang serangan yang intens, yang sejak awal bertujuan untuk mengusir paksa warga Palestina. .
“Mereka mencuri 30 ekor ternak dari saya, mengklaim bahwa itu adalah milik mereka, dan mencuri puluhan ekor lainnya dari keluarga lainnya,” kata al-Omari.
“Kami takut mereka akan mencuri semuanya, sehingga kami harus meninggalkan masyarakat tersebut ke daerah yang lebih jauh, dan sejauh ini kami belum dapat kembali”.
Tiga puluh tujuh keluarga, masing-masing terdiri dari tujuh hingga sepuluh orang, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, terpaksa meninggalkan rumah mereka di wilayah Ain Samiya di bawah tekanan kuat dari israel, dalam bentuk serangan tanpa henti yang dilakukan oleh pemukim yahudi, tentara dan polisi israel.
Mereka meninggalkan rumah mereka dengan segala isinya dan tidak dapat kembali, bahkan untuk mengambil barang-barang mereka. Siapa pun yang berani kembali akan dipukuli, ditangkap, atau kendaraannya dibakar.
“Dulu mata pencaharian kami berasal dari peternakan dan pertanian, namun sekarang kami hidup dari bantuan. Kami tidak lagi hidup bersama sebagai sebuah komunitas. Setiap keluarga terpaksa tinggal di desa terpisah dan menjual ternaknya. Setiap hari, saya ingin kembali ke Ain Samiya.”
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, 25.000 hingga 30.000 orang Badui tinggal di Tepi Barat.
Cara hidup suku Badui kini terancam oleh pembatasan ketat terhadap kebebasan bergerak yang diberlakukan oleh israel. Menurut pusat tersebut, kehadiran mereka menghambat rencana pemukiman israel di Tepi Barat.
Organisasi Al-Baidar untuk Pembela Hak-Hak Badui memantau, selama bulan Oktober 2023 lalu saja, deportasi sepuluh komunitas Badui dari wilayah Ramallah, Nablus, Hebron, Yerusalem, dan Lembah Yordan.
Hassan Malihat, pengawas umum organisasi tersebut, mengatakan kepada Palestine Chronicle bahwa israel melakukan genosida terhadap komunitas Badui di Tepi Barat.
Kehadiran suku Badui di Tepi Barat terkonsentrasi di gurun timur, khususnya di wilayah timur Ramallah dan Al – Quds, di wilayah Lembah Yordan, di wilayah Jericho dan Tubas, serta di selatan Hebron.
Wilayah ini diklasifikasikan sebagai “Area C” berdasarkan Perjanjian Oslo. Oleh karena itu, wilayah ini tunduk pada kendali keamanan dan administratif israel.
“Tanah-tanah ini adalah tulang punggung pelaksanaan proyek pemukiman israel, dan kehadiran suku Badui di wilayah tersebut dianggap sebagai hambatan nyata bagi pelaksanaan proyek-proyek tersebut,” kata Malihat.
“Oleh karena itu, kebijakan pembersihan etnis dilakukan dengan menghancurkan rumah, menyita properti, dan menggusur paksa penduduk setempat, menggunakan cara-cara ilegal dan rasis.”
israel menggunakan segala cara yang ada, termasuk penyitaan tanah, mengusir penduduk Badui, merelokasi mereka ke wilayah yang ditentukan secara geografis, menghancurkan dan merusak properti dan fasilitas Badui; dan mendeklarasikan tanah mereka sebagai cagar alam atau zona militer tertutup dimana penggembalaan dilarang.
Menurut Malihat, ada juga metode pengusiran lain yang dilakukan israel untuk menciptakan lingkungan yang sulit, yang pada akhirnya memaksa komunitas Badui untuk pergi. Mereka tidak mendapatkan pelayanan dasar, terutama air minum, listrik, dan jalur transportasi.
“Semua tindakan ini dilakukan dengan melanggar seluruh hukum, perjanjian dan traktat internasional, terutama empat Konvensi Jenewa tahun 1949, Konvensi Den Haag mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai dan Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1989, jelas Malihat.
“Tidak ada klausul dalam Piagam PBB yang tidak dilanggar secara terang-terangan oleh negara pendudukan,” tutupnya. (is/knrp)