Catatan Perjalanan Kemanusiaan ke Turki Selatan (2) : Peci dan Dukungan Perjuangan Palestina
Bagaimana sebuah bangsa dikenal oleh bangsa lain? Ini pertanyaan penting yang harus dijawab. Ada satu pertanyaan dan sekaligus pengalaman yang cukup mengganggu rasa nasionalisme saya saat dua kali berkunjung ke Turki.
Di sudut toilet bandara Ataturk, saya dihampiri warga Emirat Arab yang boleh jadi tertarik dengan peci berbalut jas yang saya kenakan.
Sembari tersenyum dia bertanya,”Are you from Malaysia, Brother?”
Sayapun jawab, “I am from Indonesia.”
Pertanyaan serupa juga dilontarkan ketika berbelanja di Grand Bazar atau berjalan di sudut jalanan kota Istanbul.
“Apakah anda dari Malaysia?” untuk pertanyaan standar seseorang yang berkulit sawo matang atau mengenakan peci.
Indonesia tidak begitu dikenal di Turki bahkan untuk dua orang gadis yang menyapa di atas kapal yang melintasi selat Bhosporus. Boleh jadi ini pertanyaan aneh dari dua gadis yang pernah berkunjung ke Filipina untuk mengajar sekolah Turki disana. “Apakah anda dari China (Çin) atau Jepang (Japonya)?”
Ada pertanyaan yang berkecamuk di benak saya mengapa Indonesia tidak begitu dikenal, bahkan untuk negara demokratis dengan penduduk Muslim terbesar didunia? Namun lebih dari itu, bagaimana Indonesia dikenal?
Mungkin ada jawabannya ketika nama Malaysia lebih banyak disebut untuk mengindentifikasi orang seperti kita karena mereka lebih dikenal sebagai “pelancong rutin” (foreign traveller) sehingga lebih banyak dikenal warga Turki maupun dunia.
Indonesia dengan pelbagai modalitasnya seharusnya lebih layak untuk dikenal. Apakah itu karena jumlah Muslimnya, demokrasinya, pulau-pulaunya, kekayaan dan keindahan alamnya atau bahkan sikap politiknya.
Tentang yang terakhir ini, Indonesia di era 50 dikenal di seantero dunia. Sukarno, dengan peci yang selalu dikenakannya dalam setiap kunjungan luar negeri dan kebijakan anti imperialismenya telah mengundang simpati negara-negara di kawasan Asia Afrika. Konferensi Asia-Afrika yang diprakarsai Sukarno telah membangun solidaritas negara-negara Asia-Afrika untuk melepaskan diri dari penjajahan dan sekaligus menjadi jalan ketiga (non-aligned) di antara dua kutub dunia yang saling bermusuhan.
Sebagai penghargaannya, nama Sukarno diabadikan sebagai nama jalan dan bangunan di beberapa negara. Mulai di sudut jalan di kota Rabat, Maroko, Kairo Mesir, Peshawar dan Lahore Pakistan, Havana Kuba hingga nama sebuah masjid di Rusia.
Penghargaan itu diberikan bukannya tanpa sebab musabab. Indonesia pada waktu itu dikenal sebagai negara yang konsisten baik dalam sikap maupun tindakan politik dalam membela kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, terutama Palestina.
Tidak berhenti sekedar retorika, Sukarno melarang keikutsertaan Israel dalam konferensi Asia Afrika, walau mereka mengklaim telah memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Namun di mata Sukarno, Israel tidak lebih dari proyek imperialisme Barat di dunia Islam dan tidak akan mengakui Israel sebelum kemerdekaan Palestina terwujud.
Dan sebagai konsistensi dari sikap politiknya, Indonesia menolak bertanding dengan Israel dalam babak penyisihan Piala Dunia 1958 dan kembali pada 1962, Indonesia mencoret keikutsertaan Israel dalam kompetisi Asian Games yang diselenggarakan di Jakarta, walau langkah itu berbuntut dengan dikeluarkannya Indonesia dari wadah Olimpiade Dunia.
Dan percaya atau tidak, daya magis warisan Sukarno di dunia Islam tersebut terkenang hingga sekarang. Ketika kami menceritakan sejarah dukungan Indonesia terhadap perjuangan bangsa Palestina, Abu Muhammad, pengungsi Palestina dan salah seorang tim penjemput kami di bandara Ataturk segera menyebut sosok nama yang tidak asing di telinga kita, Ahmad Sukarno.
Padahal Abu Muhammad adalah keturunan Palestina yang lahir dan besar di kamp pengungsian Suriah pasca Perang 1967. Jika nama Ahmad Sukarno dikenal oleh rakyat Palestina di perantauan, ini berarti nama, peran dan jejak sejarah beliau secara sadar dituturkan oleh orang tua-orang tua mereka sebagai pengingat jasa dan legacy seorang presiden yang selalu berpeci dari negeri Muslim terbesar dimana preambul konstitusinya secara terang benderang menyebutkan,” bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
Apa legacy menyejarah yang patut dikenang penduduk Muslim dunia kecuali sikap dan konsistensi politik Indonesia seperti yang ditunjukkan seorang Sukarno?
Dalam konteks ini, kunjungan tim kemanusiaan KNRP pada 12-19 Juni 2018 ke para pengungsi Palestina di Turki seperti merajut kembali jalan sejarah Sukarno untuk Indonesia yang kembali terhormat dan dikenang di dunia internasional melalui aksi kemanusiaan dan dukungan politik terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Dalam pandangan saya, inilah cara memulihkan kembali martabat Indonesia yang genuine dan tidak pura-pura. Dan sebagai bagian identitas keislaman dan keindonesiaan yang tidak boleh ditinggalkan. Dan jangan lupa peci.
#KNRPPeduli
#KNRPJateng
#MisiKemanusiaan
Oleh : Ustadz Ahmad Dzakirin, Ketua KNRP Jawa Tengah