Habiskan 45 Juta Dollar untuk Propaganda Digital, Pakar: Jangan Terkecoh Narasi Israel
JAKARTA – Pemerintah entitas Israel menjalankan kampanye propaganda digital besar-besaran untuk menyangkal adanya kelaparan di Gaza. Kampanye ini dijalankan bersamaan dengan blokade total atas makanan, obat, dan bahan bakar sejak 2 Maret 2025.
Melalui lembaga propaganda resmi “LAPAM”, Israel meneken kontrak senilai $45 juta dengan Google dan YouTube untuk menyebarkan narasi bahwa “tidak ada kelaparan” di Gaza. Juru bicara militer bahkan menyatakan siap meluncurkan kampanye digital untuk membenarkan blokade.
Menurut pakar komunikasi politik Universitas Islam Bandung Dr Muhammad Fuady, masyarakat global perlu mewaspadai propaganda digital Israel di media sosial, karena narasi yang mereka bangun kerap digunakan untuk menutupi kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza.
“Perlawanan terhadap propaganda ini hanya bisa dilakukan netizen dengan terus menyajikan fakta-fakta sebenarnya dari sumber yang kredibel, laporan lembaga kemanusiaan internasional, data PBB, dan kesaksian langsung dari lapangan. Dengan begitu, publik tidak mudah terkecoh narasi yang direkayasa, dan empati dunia terhadap Gaza tetap terjaga,” ungkapnya.
Fuady mengatakan, Israel menampakkan wajah aslinya melalui berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan secara membabi buta. Mereka menyadari bahwa di ruang maya, narasi yang dibangun sering kali mengalami kegagalan. Karena itu, strategi komunikasi yang sistematis dirancang untuk menutupi kejahatan di Gaza yang mereka ciptakan.
“Pola ini sejatinya bukan hal baru, melainkan strategi khas Israel, membentuk persepsi publik global dengan cara mengaburkan fakta-fakta di lapangan. Ruang digital dijadikan arena perang narasi untuk menutup akses terhadap kebenaran sekaligus menghapus ruang empati dunia untuk Gaza,” tutur doktor Religious Studies konsentrasi Agama dan Media tersebut.
Kampanye iklan global pemerintah Israel senilai puluhan juta dolar melalui Google memperlihatkan bagaimana propaganda politik kini dijalankan dalam skala digital yang sangat masif. Audiens yang menjadi sasaran adalah kelompok strategis yang mampu memengaruhi citra dan legitimasi politik Israel di mata dunia, seperti para pembuat kebijakan internasional, generasi muda digital yang aktif membentuk wacana di media sosial, dan netizen secara global.
“Propaganda yang menyangkal fakta krisis kelaparan di Gaza tidak bisa dianggap sekadar perbedaan narasi politik. Ia juga tidak dapat direduksi sebagai distorsi informasi belaka. Lebih dari itu, propaganda semacam ini adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan itu sendiri karena tidak hanya menutupi tragedi, tetapi juga berusaha menormalisasi penderitaan yang diciptakan Israel secara sistematis. Netizen di tanah air harus berpartisipasi dalam melakukan perlawanan terhadap kejahatan Israel dan penyedia platform digital,” tegasnya.
Kampanye Israel ini juga mencakup iklan di platform X, Outbrain, dan lainnya, serta menyasar lembaga seperti UNRWA dan PBB, dengan tuduhan yang sebagian sudah terbukti palsu. Di sisi lain, pejabat Israel secara terbuka mendukung kelaparan sebagai alat perang.
Padahal, PBB secara resmi menyatakan kelaparan telah terjadi di Gaza dan bisa meluas. OCHA memperingatkan potensi “kelaparan massal”, dan data Gaza menunjukkan ratusan warga, termasuk anak-anak, telah meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi.
Kejahatan Israel di Gaza mendorong Uni Eropa untuk menghentikan dukungan ekonomi apapun dan berniat memberlakukan sanksi terhadap menteri-menterinya.