Sabra shatila
Berita Palestina

Mengenang 43 Tahun Pembantaian Sabra Shatila

Hari ini menandai peringatan 43 tahun salah satu pembantaian paling brutal dalam sejarah modern. Dimulai sekitar pukul 18.00 tanggal 16 September 1982, tak lama setelah pasukan israel menguasai Beirut Barat, pasukan Phalangis Lebanon sayap kanan yang beroperasi di bawah arahan pasukan israel membantai, melukai, dan membuat ribuan pria, wanita, dan anak-anak tak berdaya kehilangan tempat tinggal di kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila. Pembantaian yang meluas ini dilakukan secara metodis selama dua hari hingga pukul 08.00 tanggal 18 September.

Selama pembantaian tersebut, pasukan israel memegang kendali penuh atas wilayah tempat kamp Sabra dan Shatila berada. Mereka mengizinkan militan Phalangis memasuki kamp, ​​mencegah pengungsi melarikan diri menyelamatkan diri, dan menerangi langit malam dengan serangkaian suar yang terus menerus saat pembantaian berkecamuk. Pembantaian tersebut segera mendapat kecaman keras dari PBB karena hanya beberapa bulan kemudian, Majelis Umum PBB dengan suara bulat (dengan 12 abstain) mengesahkan Resolusi yang menyatakan bahwa pembantaian Sabra dan Shatila merupakan tindakan genosida.

Lebih lanjut, penyelidikan pemerintah israel sendiri atas kasus tersebut, Komisi Kahan, menemukan bahwa personel militer israel sangat menyadari pembantaian yang sedang berlangsung dan hanya berpangku tangan sementara pembantaian tersebut berlanjut. Para pejabat senior israel yang terbukti bertanggung jawab atas pembantaian tersebut tetap memegang jabatan tinggi di pemerintahan dan politik di israel.

Ariel Sharon, Menteri Pertahanan israel saat itu dan orang yang mengatur pendudukan israel di Lebanon menjelang pembantaian tersebut, dipaksa mengundurkan diri. Komisi israel sendiri menyimpulkan bahwa ia secara pribadi bertanggung jawab atas tragedi yang mengerikan dan tidak manusiawi tersebut. Meskipun demikian, Sharon akhirnya menjadi Perdana Menteri israel pada tahun 2001.

Selain itu, Jenderal Amos Yaron, komandan pasukan pendudukan israel di ibu kota Lebanon, Beirut, selama pembantaian tersebut, menjadi Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan israel. Kemampuan Sharon dan Yaron untuk memegang jabatan tertinggi di israel, bahkan setelah pemerintah mereka sendiri pada dasarnya menyatakan mereka bersalah atas kejahatan perang, merupakan indikasi kebrutalan pasukan israel yang berkelanjutan.

43 tahun kemudian, pembantaian Sabra dan Shatila tetap menjadi salah satu peristiwa paling simbolis dalam sejarah rakyat Palestina dan penderitaan mereka. Pembantaian tersebut menunjukkan tragedi para pengungsi Palestina, yang telah diusir dari tanah air mereka selama lebih dari 77 tahun. Tragedi ini merupakan contoh perlunya penyelesaian yang adil atas masalah pengungsi berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 194, yang menegaskan hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina.

Kekejaman Sabra dan Shatila masih meninggalkan trauma bagi para penyintas, yang masih mencari keadilan dan berduka atas kematian para korban. Puluhan tahun kemudian, kenangan pahit pembantaian tersebut masih membekas, dan para pelakunya masih belum dihukum. (is/knrp)

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.