Berita Palestina

Kisah Inspiratif. Kopral Hasan, Prajurit Ottoman Terakhir Yang mempertahankan Al-Aqsa

Saya sering mengatakan bahwa satu-satunya alasan Masjid Al-Aqsa masih berdiri adalah karena perlawanan heroik rakyat Palestina yang telah memberikan hidup mereka untuk melindungi situs tersuci ketiga Islam dari pasukan penjajah israel.

Setidaknya ada satu orang yang terpilih untuk menggambarkan tujuan mulia ini. Kopral Hasan Al-Aghdarli mengabdikan lebih dari enam dekade hidupnya untuk menjaga Al-Aqsa dan melindunginya dari orang-orang yang akan menyakitinya. Saya menemukan kisah inspiratifnya dalam sebuah berita di TRT World yang menurut saya pantas untuk diketahui lebih luas kepada masyarakat dunia.

Kopral Hasan adalah prajurit terakhir dari Kesultanan Utsmaniyah yang dikerahkan untuk menjaga Masjid Al-Aqsa hingga hari kematiannya. Veteran Perang Dunia Pertama dari provinsi Igdir Turkiye ini adalah bagian dari tim infantri senapan mesin Tentara Ottoman yang dikerahkan untuk menjaga Yerusalem. Perintah terakhir yang dia terima dari perwira seniornya adalah menjaga Yerusalem yang kemudin ia patuhi selama 65 tahun hingga kematiannya pada tahun 1982.

Kami tidak akan pernah tahu tentang jasanya yang luar biasa jika bukan karena rasa ingin tahu mendiang jurnalis Turki Ilhan Bardakci, yang menemani pejabat dan pengusaha Turki dalam kunjungan kehormatan ke Al-Aqsa pada tahun 1972.

“Di Al-Aqsa ada lantai yang disebut lantai 12.000 lampu gantung. Tempat Sultan Selim menyalakan 12.000 lilin lampu gantung dan sholat Isya bersama pasukan Ottoman.” tulis Bardakci pada saat kunjungan bersejarahnya ke Al Aqsa.

Ketika dia melihat seorang lelaki yang sangat tua di halaman masjid, wartawan itu menghampiri dan bertukar salam dengannya. Dia bertanya siapa dia dan heran dengan jawabannya.

“Saya Kopral Hasan dari Korps 20, Batalyon 36, Skuadron 8 tim infantri senapan mesin,” kata prajurit berusia 90 tahun itu. Berbicara seperti prajurit sejati yang memberikan penjelasan tentang misinya, lelaki tua berjanggut putih panjang itu melanjutkan: “Pasukan kami menyerbu Inggris di front Terusan Suez. Malangnya tentara kami dikalahkan dan harus mundur hingga ke Al-Quds. Dan kemudian Inggris datang, menembus gerbang Al-Quds dan menduduki kota. Kami tinggal sebagai pasukan barisan pertahanan terakhir di Al- Quds.”

Ada 53 tentara di barisan belakang yang diberitahu bahwa mereka akan diberhentikan dari tugas setelah Gencatan Senjata Mondros ditandatangani. “Letnan kami memimpin kami. Dia berkata, ‘Singa-singaku, negara kita berada dalam situasi yang sulit. Mereka meminta kita untuk kembali. Saya harus pergi, jika tidak, saya akan menentang sultan dan gagal mematuhi perintah. Siapa pun dapat kembali ke rumahnya jika dia mau, tetapi jika Anda mengikuti kata-kata saya, saya punya permintaan dari Anda. Al-Quds adalah pusaka Sultan Selim Han. Tetaplah bertugas jaga di sini.”. “Jangan biarkan orang-orang khawatir bahwa Ottoman telah pergi. Orang-orang Barat akan bersuka cita jika Ottoman meninggalkan kiblat pertama Nabi kita tercinta. Jangan biarkan kehormatan Islam dan kemuliaan Ottoman diinjak-injak.”.

Jadi, Hasan dan rekan-rekannya tetap tinggal di Al-Quds. “Dan tahun-tahun yang panjang berlalu. Saudara-saudaraku dari pasukan meninggal satu per satu. Kami tidak dihancurkan oleh musuh tetapi oleh waktu. Hanya aku yang tersisa di sini. Hanya aku, Kopral Hasan di grand Al-Quds.”.

Membaca ini membuatku merinding. Kisah-kisah para pahlawan umat kita ini sayangnya jarang dituliskan. Mereka menjadi legenda dari mulut ke mulut.

Dan sungguh sebuah legenda. Ketika Anda membandingkan para prajurit yang benar-benar tanpa pamrih dan takut akan Tuhan ini dengan rakyat biasa, Anda akan tahu bahwa ada perbedaan besar dalam hal rasa tanggung jawab mereka.

Orang-orang terhormat ini tidak akan pernah menyerang masjid atau tempat ibadah lainnya dan memukuli jemaah yang tidak bersenjata dengan pentungan, seperti yang dilakukan preman berseragam israel dalam pertunjukan yang begitu biadab sehingga masyarakat internasional merasa terpaksa untuk memprotes.

Ketika Bardakci kembali ke rumah, dia mencoba melacak komandan Kopral Hasan, Letnan Mustafa Efendi, untuk memberi tahu bahwa tentaranya mengikuti perintahnya dan salah satunya masih bertugas di Masjid Al-Aqsa. Namun, perwira Ottoman yang dulunya muda telah meninggal bertahun-tahun sebelumnya.

Sepuluh tahun setelah bertemu dengan Kopral Hasan, Bardakci menerima telegram pada tahun 1982 yang berbunyi: “Penjaga Ottoman terakhir di Masjid Al-Aqsa meninggal hari ini.”

Kopral Hasan akhirnya meninggalkan amanahnya, tapi dia tidak boleh dilupakan. Dia adalah simbol keberanian dan rasa tanggung jawab yang harus kita semua pegang untuk Masjid Al-Aqsa; sebuah tugas yang dibutuhkan hari ini lebih dari sebelumnya, karena Al-Aqsa telah menjadi korban kekerasan oleh penjajah yang telah memicu lebih banyak kekerasan di Tepi Barat dan Yerusalem.

Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama, Kopral Hasan berpikir bahwa dia hanya perlu mempertahankan Al-Aqsa dari serbuan tentara Inggris. Dia tidak pernah membayangkan bahwa hari itu akan tiba ketika penjajah israel datang dan menguasai Al-Aqsa, tempat yang dianggap oleh Kopral Hasan Al-Aghdarli di atas kebebasannya sendiri. Turkiye harus bangga dengan prajurit Ottoman dan rekan-rekannya. Palestina harus menjunjung tinggi mereka dan seluruh dunia Muslim harus meniru mereka dalam pengabdian kita kepada Masjid Al-Aqsa.

Disadur dari reportase Ilhan Bardakci. (KNRP/IS)

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.